Muhamad Hafizh Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang gemar membaca apapun, kecuali membaca pikiran. Motto: Hidup hanya untuk membaca, mengkaji, dan menulis.

Pikukuh dan Buyut: Pedoman Hidup Suku Baduy

3 min read

Amanat Buyut Larangan Suku Baduy

Keharmonisan pada umumnya tidak terlepas dari sistem moral yang disepakati kelompok masyarakat tertentu. Hal ini kemudian menciptakan tatanan masyakarat yang rukun, akur, dan tidak saling merusak terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Pandangan universal moralitas merujuk kepada kepentingan individualistis dan orang banyak, sehingga egoisme akan menghiasi sebagian kelompok maupun individu.

Saling menginjak antar sesama demi kompetitif semata, alam yang dieksploitasi demi keuntungan materialistik sehingga merusak, terkikisnya budaya leluhur karena berlebihan terhadap budaya baru tanpa menyaringnya dahulu, dan lain halnya sebagai sesuatu yang tampak jelas dalam kecacatan moralitas seseorang maupun kelompok.

Sehingga membentuk dua variabel untuk diferensiasi — khususnya masyarakat tradisional yang lebih mengutamakan adat dan ketetapan-ketetapan leluhurnya. Banten menjadi suatu daerah yang memiliki masyarakat tradisional di Kabupaten Lebak, yaitu Suku Baduy.

Keharmonisan dan ketentraman internal Suku Baduy perlu digali dasar serta landasannya. Hal ini karena pelajaran maupun wawasan didapatkan salah satunya dengan diperolehnya sesuatu melalui inderawi atau empiris (pengalaman manusia). Keterbelakangan atau ketinggalan zaman bukan berarti menjadi tanda keterpurukan peradaban dalam aspek moralitas suatu kelompok.

Pikukuh, Pedoman Berprilaku Suku Baduy

Suku Baduy memiliki pedoman dalam kehidupannya, bahkan kesehariannya pun diatur oleh adat mereka. Semua itu dikemas dalam Pikukuh dan Buyut suku Baduy. Ketidaksesuaian perilaku masyarakat Suku Baduy terhadap Pikukuh dan Buyut dipercaya akan berakibat fatal.

Pikukuh berarti pedoman seseorang dalam berperilaku agar tidak melanggar adat dan tidak durhaka kepada karuhun (leluhur). Adat Baduy yang diikuti masyarakatnya menganggap terdapat Pikukuh yang mereka ikuti, yaitu Pikukuh Sapuluh:

Teu meunang binasa ka sasama
(Tidak boleh membinasakan sesama Makhluk Hidup)
Teu meunang maling
(Tidak boleh mencuri)
Teu meunang ingkar jangji, ngabohong atawa nipu batur
(Tidak boleh mengingkari janji, berbohong atau menipu seseorang)
Teu meunang nginum nu ngamabokeun
(Tidak boleh minum yang memabukkan)
Teu meunang ngaduakeun hate atawa nyandung
(Tidak boleh poligami)
Teu meunang dahar tas panonpoe surup
(Tidak boleh makan setelah terbenamnya matahari)
Teu meunang dangdan, diwedak, sabun atawa make seuseungitan
(Tidak boleh bersolek, memakai kosmetik, sabun, atau memakai wewangian)
Teu meunang sare tibra teuing
(Tidak boleh tidur terlalu nyenyak)
Teu meunang ngawih lantaran senang
(Tidak boleh menyanyi karena senang)
Teu meunang make barang mahal atawa rarangken : kongkorong, suweng, ali jeung geulang
(Tidak boleh memakai barang mahal atau perhiasan: kalung, anting, cincin, dan gelang)

Manusia harus memiliki pedoman dan tuntunan yang menjadi arah kehidupannya. Begitu pun dengan Pikukuh Sapuluh menjadi sepuluh pedoman dalam adat Suku Baduy yang harus dilakukan dalam keseharian, tanpa pengecualian. Sehingga keteraturan dalam kehidupan yang bersosial maupun aspek lainnya tentram serta meminimalisir perselisihan. Selain Pikukuh, Suku Baduy juga dilengkapi dengan buyut yang menjadi pelengkapnya.

Buyut, Pantangan Yang Tak Boleh Dilanggar

Pedoman menjadi salah satu substansi dalam keberaturan kehidupan Suku Baduy. Hal selaras lainnya, terdapat larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar bagi masyarakat Suku Baduy. Hal ini dikenal dengan istilah Baduy yaitu buyut, sedangkan dalam bahasa Sunda secara umumnya dikenal dengan pamali — sesuatu yang haram (dalam Islam).

Anggapan singkatnya bahwa buyut adalah tindakan dan perilaku yang nyeleneh dari pikukuh. Suku Baduy memiliki buyut yang banyak, menariknya antar satu buyut dengan buyut lain saling berkaitan. Manusiawi namanya kalau melanggar suatu peraturan baik disengaja maupun tidak — keadaan terpaksa, tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang akan mendapatkan sanksi, seperti menunaikan ritual penyapuan (penyucian diri), bahkan bisa saja seseorang dalam Suku Baduy diasingkan setelah melanggar buyut.

Ritual penyapuan secara spesifik berarti tanah suci yang dinodai oleh noda (dosa) akibat dari melanggar, maka perlu disucikan/dibersihkan. Sedangkan pengasingan berarti yang tadinya berada di Suku Baduy Dalam akan dikeluarkan ke Suku Baduy Luar, bahkan bisa saja ada keputusan dari kokolot untuk meninggalkan wilayah adat Suku Baduy. Dengan demikian, buyut sangat berpengaruh, sehingga perlu diperhatikan apa saja yang ada di dalamnya.

Buyut nu dititipkeun ka puun
(Buyut yang dititipkan kepada puun)
Nagara satelung puluh telu
(Negara tiga puluh tiga)
Bagawan sawidak lima
(Sungai enam puluh lima)
Pancer salawe nagara
(Pusat dua puluh lima negara)
Gunung teu beunang dilebur
(Gunung tidak boleh digempur)
Lebak teu meunang diruksak
(Lebak tidak boleh dirusak)
Larangan teu meunang dirempak
(Larangan tidak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah
(Buyut tidak boleh dirubah)
Lojor teu meunang dipotong
(Panjang tidak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung
(Pendek tidak boleh disambung)
Nu lain kudu dilainkeun
(Yang lain harus dipandang lain)
*Maksudnya sesuatu milik orang lain jangan dianggap milik sendiri.
Nu ulah kudu diulahkeun
(Yang dilarang harus menjadi larangan)
Nu enya kudu dienyakeun
(Yang boleh harus diperbolehkan)
Mipit kudu amit
(Mengambil harus pamit/permisi)
Ngala kudu menta
(Mengambil harus meminta)
Ngeduk cikur kudu mihatur
(Mengeduk kencur harus memberitahu pemilik)
Nyokel jahe kudu micarek
(Mencungkil jahe harus memberitahu)
Ngagedag kudu bewara
(Mengguncang pohon harus memberitahu)
*Maksudnya mengguncang pohon agar buahnya jatuh harus permisi dahulu.
Nyaur kudu diukur
(Bertutur harus dipikirkan dahulu)
Nyabda kudu diunggang
(Berkata harus dipikirkan agar tidak menyinggung)
Ulah ngomong sageto-geto
(Jangan berbicara sembarangan)
Ulah lemek sadaek-daek
(Jangan berbicara semau sendiri)
Ulah maling papanjingan
(Jangan mencuri walaupun kekurangan)
Ulah jinah papacangan
(Jangan berjinah dan berpacaran)

Buyut menjadi kewajiban untuk dipatuhi dan dilakukan dalam sehari-harinya masyarakat Suku Baduy, menurut kepercayaan mereka akan timbul suatu akibat apabila melanggar, sehingga masyarakat Baduy begitu patuh terhadap adat, termasuk buyut. Terdapat beberapa akibat, apabila melanggarnya.

Matak burung jadi ratu
(Berakibat gagal menjadi ratu/pemimpin)
Matak edan jadi menak
(Berakibat gila menjadi bangsawan)
Matak pupul pangaruh
(Berakibat hilang pengaruh)
Matak hambar komara
(Berakibat hilang kewibawaan)
Matak teu mahi juritan
(Berakibat kalah saat berkelahi)
Matak teu jaya perang
(Berakibat tidak menang dalam perang)
Matak eleh jajaten
(Berakibat kalah keberanian)
Matak eleh kasakten
(Berakibat kalah kesaktian)

Jauh dari konflik, hidup yang bersahaja, ketenangan dalam hidup, memelihara alam, dan menjauhi perselisihan antar sesama sudah menjadi kenikmatan yang selalu didapatkan oleh masyarakat Suku Baduy karena patuh dan mempraktikkan pikukuh serta buyut dari leluhurnya.

Muhamad Hafizh Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang gemar membaca apapun, kecuali membaca pikiran. Motto: Hidup hanya untuk membaca, mengkaji, dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *